SIKAP DAN PERILAKU ORANG BERIMAN
Orang beriman adalah orang yang memiliki landasan hidup yang kukuh
dan benar, yakni landasan hidup yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Dengan
landasan hidup tersebut orang beriman memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan manusia lain. Hidup manusia yang tidak dilandasi iman, tak
ubahnya seperti kehidupan hewan ternak, yang hanya makan, minum,
bekerja, tidur, dan beranak. Sebaliknya, dengan landasan iman, hidup
manusia akan terarah, sesuai dengan yang dihekendaki penciptanya, yakni
Allah SWT.
1. Taqwa kepada Allah SWT
Taqwa kepada Allah berarti menjalankan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Taqwa juga berarti berhati-hati dalam
hidup, yakin menjaga diri dari semua aturan yang diberikan Allah sebagai
penciptanya. Taqwa kepada Allah menjadi kewajiban setiap muslim.
Firman Allah
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْااتَّقُوْااللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَّاقَدَّمَنْ لِغَدٍِج وَاَتَّقُوْااللهَقلى اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ
بِمَاتَعْمَلُوْنَ (الحشر:18)
“Hai orang-orang yang beriman, taqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akherat). Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Hasyr: 18)
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْااتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَ تَمُوْتتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ (ال عمران: 102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali engkau mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 102)
Memperhatikan apa-apa yang telah dikerjakan untuk hari esok berarti
mengadakan evaluasi kerja dan mengadakan perencanaan kerja di masa-masa
yang akan datang. Hari esok ada dua macam, yakni hari esok yang dekat
(di dunia ini) dan hari esok yang jauh (di akherat kelak)
2. Berbuat baik kepada kedua orang tua
Orang tua (ayah dan ibu) adalah orang yang menjadi perantara hidup
manusia di dunia. Islam memberi tuntunan bahwa setiap anak wajib berbuat
baik kepada kedua orang tuanya, walaupun berbeda agama dengan dirinya
sendiri.
Firman Allah:
وَاعْبُدُوْاللهَ وَلاَتُشْرِكُوْابِه شَيْئًا وَبِالْوَالِدِيْنِ اِحْسَانًا (النسائ:36)
“Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukannya-Nya dengan sesuatu apapun
dan berbuat ihsanlah (baiklah) kepada kedua orang tua (Ibu bapak0 mu…”
(Q.S An – Nissa: 36)
Islam tidak memberi batasan tentang berbuat baik kepada orang tua.
Hal ini diserahkan kepada kebijakan manusia (anak) Sesuai dengan Kondisi
masing-masing orang tuanya. Islam hanya memberi batasan bahwa berbuat
baik kepada kedua orang tua tidak boleh melanggar hak-hak Allah,
misalnya dengan cara menyekutukan-Nya.
Apabila kedua orang tua mengajak berbuat maksiat kepada Allah (misalnya
menyekutukan-Nya) maka anak tidak boleh mengikuti ajakan tersebut, namun
tetap berikap baik kepadanya.
Firman Allah SWT:
وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَافِىالدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan dengan Aku,
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik …”
(QS. Luqman: 15).
Di samping wajib berbuat baik, kita dilarang untuk menyakiti hati kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya.
…. اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَاَحَدُهُمَاأَوْكِلاَ
هُمَافَلاَ تَقُلْ لَّهُمَاأُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْ هُمَاوَقُلْ لَّهُمَا
قَوْلاً كَرِيْمًا (الاسرائ: 23)
“……jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentuk
mereka dengan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia:. (QS. Al
Israa’: 23)
Apabila kedua orang tua belum Islam, hendaklah dido’akan agar
mendapat petunjuk dari Allah sehingga mau masuk Islam. Jika keduanya
telah meninggal, hendaklah dido’akan agar mendapat ampunan di sisi-Nya,
misalnya dengan lafal do’a:
رَبَّنَااغْفِرْلِى وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ ( ابراهيم : 41)
“Ya Rab kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sekalian
orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (QS.
Ibrahim: 41)
3. Berbuat baik kepada sesama manusia
Kewajiban berbuat baik kepada sesama manusia telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya sebagai berikut:
وَاعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْابِه شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
اِحْسَانًا وَبِذِى اْلقُرْبى وَالْيَتمى وَاْلمَسكِيْنِ وَالْجَارِذِى
الْقُرْبى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ
كَانَ مُخْتَالاً فَخُوْرًا ( النساء: 36)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (ibu bapak), karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS. An-Niosaa’: 36)
Selanjutnya Rasulullah SAW. Melarang kepada muslim untuk meremehkan, menyakiti hati dan sebagainya. Sabda Rasulullah SAW.
اَلْمُسْلِمُ اَخُوالْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهَ وَلاَيَخْذُلُهُ وَلاَ
يَحْقِرُهُ التَّقْوى هَاهُنَا وَيُشِيْرُ اِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ اَنْ يَحْقِرَاَخَاهُ اْلمُسْلِمَ كُلُّ
اْلمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ (رواه
مسام )
“(Seorang) muslim adalah saudara bagi muslim (lain), tidak boleh
(seseorang) menganiyaya dia, tidak boleh mengecewakan dia, tidak boleh
menghinakan dia, Taqwa ada di sini! Dan beliau memberikan isyarat ke
dadanya tiga kali sambil bersabda: “Cukup jahat apabila seseorang
menghina saudaranya (muslim yang lain). Tiap Muslim terhadap Muslim
(yang lain) haram darahnya, harta, dan kehormatannya”. (HR. Muslim)
BERFIKIR POSITIF (QONA’AH)
1. Pengertian:
Rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki sehingga jauh
dari sifat kurang yang berlebihan. Orang qona’ah giat bekerja atau
berusaha dan bila hasilnya kurang memuaskan, rela menerima dengan syukur
kepada Allah. Hikmah qona’ah adalah symbol rasa tentram dalam hidup,
sehingga terhindar dari sifat serakah dan tamak.
H.R. Muslim: “Beruntung orang Islam, rezekinya cukup; dan merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya”.
Q.S Hud 6: “Dan tidaklah binatang yang melatapun di bumi, kecuali ditentukan rizkinya oleh Allah”.
Jadi dengan demikian orang yang qona’ah adalah yakin akan ketentuan
Allah SWT. Pengertian harfiah dan qona’ah adalah menerima cukup/menerima
secara puas, apa adanya. Sedang pengertian secara istilah adalah:
a. Menerima dengan rela apa adanya
b. Menerima dengan sabar apa adanya
c. Memohon kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha
d. Bertawakal kepada Allah
e. Tidak tertarik oleh tipu daya manusia
2. Qona’ah dalam kehidupan
a. Pengendalian hidup sehingga tidak turut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan
b. Qona’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator dalam hidup
1. Berfungsi sebagai stabilisator
- Berlapang dada dalam situasi dan Kondisi apapun
- Berhati tentram
- Merasa kaya dan berkecukupan dalam hidup sederhana
- Bebas dari keserakahan, karena kekayaan atau kemiskinan terletak pada hati bukan terletak pada harta yang dimiliki
2. Berfungsi sebagai dinamisator artinya qona’ah merupakan kekuatan
bathin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup,
berdasarkan kemandirian dan tetap bergantung kepada karunia Allah SWT.
Berkenaan dengan cara hidup qona’ah, marilah kita simak nasehat Nabi SAW
kepada hakim sahabat beliau yang segala permohonannya selalu
diluluskan, tetapi kali berikutnya Nabi menasehatinya.
يَاحَكِيْمٌ اِنَّ هدَالْمَالَ خُضْرٌ خُلْقٌ, فَمَنْ أَخَدَ هُ
بِسَحَاوَةٍ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ فَمَنْ أَخَدَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ وَكَانَ كَالَّدِيْ يَأكُلُ وَلاَ
يَشْبَعْ وَاْليَدُاْلعُلْيَاخَيْرٌ مِنَ اْليَدِ السُّفْلَ
Artinya: “Wahai hakim sesungguhnya harta itu indah dan manis, barang
siapa yang mengambilnya dengan hati yang lapang dan ikhlas niscaya
berkah baginya, akan tetapi barang siapa yang mengambilnya dengan hati
yang tamak atau rakus, pasti harta itu tidak berkah baginya. Bagaikan
orang yang makan yang tidak pernah kenyang-kenyangnya ketahuilah bahwa
tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Oleh karena itu qona’ah adalah merupakan sikap hati dan mental yang
memilikinya diperlukan latihan dan kesabaran. Bila qona’ah dimiliki oleh
seseorang niscaya kebahagiaan dunia akan dinikmati dan kebahagiaan
akhirat akan tercapai. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah
haditsnya yang diriwayatkan oleh Thabrani:
اَلْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَيَفْنى
Artinya: “Qona’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap”
Manfaat qona’ah dalam kehidupan:
a. Bagi kehidupan pribadi:
1. Percaya akan kekuasaan Allah SWT
2. Sabar dalam menerima ketentuan Allah SWT
3. Bersyukur bila dipinjami nikmat Allah SWT
4. Berusaha bekerja, berikhtiar dan berdo’a serta tawakal
b. Bagi kehidupan masyarakat:
1. Mengajak tidak membanggakan diri dengan kekayaan sebab akan menimbulkan kecemburuan sosial
2. Membina rasa puas dengan nikmat yang dikaruniakan Allah SWT
3. Menjauhkan sifat rakus dan tamak, hingga akan terhindar dari kehendak untuk mengambil hak orang lain
Dengan demikian, qona’ah adalah salah satu sikap terpuji yang harus
dimiliki oleh setiap orang muslim, yaitu sikap rela menerima dan merasa
cukup dengan apa yang dimiliki serta menjauhkan diri dari sikap tidak
puas dan merasa kurang yang berlebihan
Orang yang qona’ah adalah orang yang selalu giat bekerja dan berusaha,
namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia tetap
bersikap positif yaitu rela menerima apa yang dihasilkannya dengan penuh
rasa syukur dan lapang dada.
Qona’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang
muslim. Dengan qona’ah seorang muslim akan bersikap positif terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepadanya, akan terhindar dari sifat-sifat
tercela, serakah dan putus asa, serta akan memiliki semangat hidup untuk
meraih kemajuan berdasarkan kemampuan diri dan kemandirian.
AKHLAKUL MADZMUMAH
A. Hasud
1. Pengertian Hasud
Hasud berarti membangkitkan hati seseorang supaya marah (melawan,
memberontak, dan sebaginya). dalam bahasa Arab disebut hasad yang
berarti dengki, sebagai wujud dan akibat rasa iri. Dengan demikian Hasud
sama dengan hasad. Orang yang suka berbuat Hasud disebut provokator.
Sudah pasti sifat ini amat tercela, baik dalam pandangan Allah maupun
sesama manusia.
2. Hasud adalah penyakit masyarakat
Hasutan yang disebarkan oleh provokator sering menimbulkan gangguan
dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan anarkis yang berupa pengrusakan
toko, rumah dan tempat ibadah bahkan juga pembunuhan. Oleh karena sebab
itu, jelaslah kiranya Hasud merupakan penyakit dalam kehidupan
bermasyarakat, karena menimbulkan kerusakan dan kerugian yang tidak
sedikit jumlahnya. Selain merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, hasud
juga berakibat buruk bagi pelakunya sendiri.
اِيَّا كُمْ وَاْلحَسَدَ فَإِنَّ اْلحَسَدَ يَأْ كُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ اْلحَطَبَ (رواه أبوداود)
“Jagalah dirimu semua dari sifat dengki, karena kedengkian merusak kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)
B. Ria
1. Pengertian Ria
Ria adalah pamer, yakni berbuat baik dengan maksud ingin memperoleh pujian orang lain. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Islam mendidik umatnya agar melakukan amal baik secara ikhlas, yakin
karena Allah. Semata – mata Yang dimaksud karena Allah semata-mata
ialah:
a. Melakukan amal baik karena ingin memperoleh ridha Allah SWT
b. Melakukan amal baik karena mentaati perintah Allah SWT
Amal baik yang dilakukan dengan maksud tidak seperti di atas, dinyatakan tidak memperoleh pahala
Rasulullah SAW bersabda:
أِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوى …. رواه البخارى
“Sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat dan sesungguhnya setiap
(amal) seseorang tergantung kepada niatnya…..” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Ria Merusak amal baik
Allah SWT berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْالاِتُبْطِلُوْا صَدَ قَتِكُمْ بِالْمَنِّ
وَاْلأَذى كَالّذِيْ يُنْفِقُ مَالَه رِئَاءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْ مِنُ
بِااللهِ وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ قلى فَمَثَلُه كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ
تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَ كَهُ صَلْدًا قلى لاَيَقْدِرُوْنَ
عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوْا قلى وَاللهُ لاَيَهْدِى اْلقَوْمَ
اْلكَفِرِيْنَ (البقراة: 264)
“Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada
manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah,
kemudian batu itu tertimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada, orang-orang yang kafir.”
(QS. Al Baqarah: 264)
Selain merusak amal baik, ria juga termasuk perbuatan syirik yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.
Sabda Rasulullah SAW:
اِنَّ اَخْوَفَ مَاأَخَافَ عَلَيْكُمُ اْلشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ : اَلرِّياءُ (رواه احمد)
‘Sesungguhnya sesuatu yang telah aku khawatirkan atas kamu semua perkara
yang aku khawatirkan ialah syirik kecil, yakni ria,” (HR Ahmad)
C. Aniyaya
1. Pengertian aniyaya
Aniyaya berarti perbuatan bengis, seperti penyiksaan, penindasan, dan
sebagainya. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi yang
harus berbuat baik terhadap siapapun, bahkan juga terhadap makhluk
selain manusia.
Allah SWT berfirman
اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِى
اْلقُرْبى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْىِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَ كَّرُوْنَ (النحل: 90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan
kepada kaum kerabat dan Allah melarang (kamu) berbuat keji, Munkar, dan
permusuhan (aniyaya). Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl; 90)
Ayat di atas membuat tiga perintah dan tiga larangan. Tiga perintah
yang dimaksud ialah berlaku adil, berbuat baik, dan membantu kerabat.
Tiga larangannya ialah berbuat keji (maksiat yang menjerumus perbuatan
zina), Munkar (segala perbuatan buruk yang tidak dapat diterima oleh
hati nurani), dan permusuhan.
Aniyaya adalah salah satu bentuk perbuatan yang menimbulkan permusuhan
sesama manusia. Oleh sebab itu, perbuatan aniyaya wajib dijauhi oleh
setiap orang, terutama muslim.
2. Orang yang teraniyaya memperoleh prioritas dari Allah SWT
Untuk memberikan keadilan kepada manusia Allah SWT memberikan prioritas
kepada orang yang dianiyaya bahwa dia tidak berdosa apabila berkata
buruk lagi keras.
Firman Allah SWT:
لاَيُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلاَّ مَنْ ظُلِمَ قلى وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًاعَلِيْمًا (النساء : 148)
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang di aniyaya. Allah adalah (yang) Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui (QS. An-Nisaa’: 148)
Orang yang diperlakukan secara dhalim diperbolehkan membalas kedhaliman tersebut seberat kadar yang ditimpahkan kepada dirinya.
وَاٍنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْابِمِثْلِ مَاعُوْقِبْتُمْ بِهِ قلى وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِِصّبِرِيْنَ (النحل: 126)
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi, jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar.” (QS. An-Nahl: 126)
3. Bahasa perbuatan aniyaya
a. Bagi orang lain
Bahaya perbuatan aniyaya bagi orang lain tergantung pada tingkat aniyaya
yang ditimpakan pada dirinya. Sekurang-kurangnya menimbulkan kekecewaan
atau sakit hati pihak lain (yang dianiyaya)
b. Bagi pelakunya sendiri
Perbuatan aniyaya menimbulkan kegelapan bagi dirinya di hari kiamat
Rasulullah SAW bersabda:
اَلظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (رواه البخارى و مسلم)
“Kedhaliman adalah beberapa kegelapan di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
اِتَّقُوالظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (رواه مسلم)
“Jagalah dirimu dari kedhaliman, karena dhalim adalah beberapa kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud kegelapan di hari kiamat adalah dosa yang memberatkan
penderitaan seseorang di hari kiamat. Mungkin seseorang masih dapat
menyelamatkan diri dari akibat perbuatan dhalim di dunia ini, tetapi
tidak demikian halnya di akherat kelak
ADAB BERPAKAIAN, BERHIAS, BERTAMU, DAN MENERIMA TAMU
A. Adab (Tata Krama) Berpakain
1. Fungsi pakaian
Tuntunan Islam mengandung didikan moral yang tinggi. Dalam masalah
aurat, Islam telah menetapkan bahwa aurat lelaki adalah antara pusar
sampai kedua lutut, sedangkan bagi perempuan adalah seluruh tubuh
kecuali muka dan telapak tangan. Adanya aturan-aturan dalam berpakaian
pada dasarnya untuk menunjang ketiga fungsi berikut ini:
Fungsi pakaian ialah untuk penutup aurat, menjaga kesehatan dan keindahan
2. Islam melarang umatnya berpakaian terlalu tipis dan atau ketat (mepet sehingga membentuk tubuhnya yang asli)
Kendatipun fungsi utama (sebagai penutup aurat) telah dipenuhi, tetapi
apabila pakaian yang terlampau tipis, pakaian yang ketat akan
menampilkan bentuk tubuh pemakainya, sedangkan pakaian yang terlampau
tipis akan menampakan warna kulit pemakainya. Kedua cara tersebut
dilarang oleh Islam karena hanya akan menarik perhatian yang menggugah
nafsu syahwat bagi lawan jenisnya
Dalam hal ini Rasulullah SAW, telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ اَهْلِ النَّارِ لَمْ اَرَهُمَا: قَوْمٌ سِيَاطٌ
كَأَذْنَ بِ اْلبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَاالنَّاسَ وَنَسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتُ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوْ سُهُنَّ كَأَ سُنِمَةِ اْلبُخْتِ
اْلمَائِلَةِ لاَيَدْ خُلُنَ اْلجَنَّةَ وَلاَيَجِدْنَ رِيْحَهَالَيُوْ
جَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَاوَكَذَا (رواه مسلم)
“Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat
keduanya, yaitu: 1. kaum yang membawa cambuk seperti seekor sapi yang
mereka pakai buat memikul orang (penguasa yang kejam): 2.
perempuan-perempuan yang berpakain tetapi telanjang, yang cenderung
kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan
maksiat, rambutnya sebesar punuk onta. Mereka itu tidak akan bisa masuk
jamaah (surga) dan tidak akan Mencium bau surga, Padahal bau surga itu
dapat tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim).
3. Kaum lelaki dilarang memakai cincin emas dan pakaian sutra
Khalifah Ali Bin Abi Thalib berkata:
نَهَانِيْ رَسُوْاللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ التَّخَتُّمُ
بِالذَّهَبِ وَعَنْ لِبَاسِ اْلقِسِّىِّ وَعَنْ لِبَاسِ اْلمُعَصْفَرِ
(رواه الطبرانى)
“Telah melarang kami Rasulullah SAW, untuk memakai cincin dari emas dan
pakaian sutra serta pakaian yang dicelup dengan ashfar.” (HR Tabrani)
Ashfar adalah bahan penguning (semacam wenter berwarna kuning) yang banyak dipakai orang saat itu.
Ibnu Umar meriwayatkan:
رَأَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَيَّ ثَوْ بَيْنِ
مُعَصْفَرَيْنِ فَقَلَ: اِنَّ هذِهِ مِنْ ثِيَابِ اْلكُفَّارِ فَلاَ
تَلْبَسَهَا
“Rasulullah SAW pernah melihat aku memakai dua pakaian yang aku celup
dengan ashfar, maka Sabda beliau, ‘Ini adalah pakaian orang kafir, oleh
karena itu janganlah engkau Pakai’.”
B. Adab (Tata Krama) Berhias
Pada hakikatnya Islam mencintai keindahan selama keindahan tersebut
masih berada dalam batas yang wajar dan tidak bertentangan dengan
norma-norma agama. Beberapa ketentuan agama dalam masalah perhiasan ini
antara lain sebagai berikut:
1. Laki-laki dilarang memakai cincin emas, sebagaimana larangan yang ditunjukan oleh Rasulullah SAW, terhadap Ali RA.
2. Jangan bertato dan mengikir gigi
Mengikir gigi ialah memendekan dan merapikan gigi (pangkur dalam bahasa
Jawa). Mengikir gigi banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan maksud
agar tampak rapi dan cantik. Dalam menyikapi hal ini, Rasulullah SAW
bersabda:
لَعَنْ رَسُلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اْلوَشِمَةَ وَاْلمُسْتَوْشِمَةَ وَاْلوَاشِرَةَ وَاْلمُسْتَوْشِرَةَ (رواه الطبرانى)
“Rasulullah SAW melaknat perempuan yang menatu dan minta ditatu, yang mengikir dam yang minta dikikir giginya.” (HR Thabrani).
3. Jangan menipiskan alis
Menipiskan alis banyak dilakukan oleh kaum perempuan agar tampak lebih cantik
Dalam sebuah Hadits diriwayatkan:
لَعَنْ رَسُلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم النَّاصِمَةَ وَاْلمُتَنَصِّمَةَ (رواه ابوداود)
“Rasulullah SAW melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya dan meminta dicukur alisnya.” (HR Abu Dawud)
4. Jangan menyambung rambut
Rasulullah bersabda:
لَعَنْ رَسُلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اْلوَاصِلَةَ وَاْلمُسْتَوْ صِلَةَ (رواه البخارى)
“Allah melaknat perempuan-perempuan yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya.” (HR. Bukhari)
5. Jangan berlebih-lebihan dalam berhias
Yang dimaksud berlebih-lebihan ialah melewati batas yang wajar dalam
menikmati yang halal. Berhias secara berlebih-lebihan cenderung kepada
sikap sombong dan bermegah-megahan yang amat tercela dalam Islam. Setiap
muslim dan muslimat harus dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang
menyebabkan kesombongan, baik dalam berpakaian maupun berhias dalam
bentuk lain.
Memoles wajah dengan bahan (make up) terlampau banyak, mengenakan
perhiasan emas pada leher, kedua tangan dan kedua kaki termasuk
berlebih-lebihan.
Islam memperbolehkan umatnya berhias secara wajar, tidak berlebih-lebihan yang cenderung kepada sikap sombong dan pamer.
C. Adab (Tata Krama) Bertamu
1. Jangan bertamu pada tiga waktu aurat
Allah SWT berfirman:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْالِيَسْتَأْذِ نَكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوْا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَثَ
مَرَّاتٍ قلى مِنْ قَبْلِ صَلوةِ اْلفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ
مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلوةِ اْلعِشآءِ قلى طَوَّافُوْنَ
عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ قلى كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ
اْلأيتِ قلى وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (النور: 58)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lekaki dan wanita)
yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu,
meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum
sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah
hari, dan sesudah sembahyang isya, (itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak
ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu)
itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nuur: 58)
Bertamu pada tiga waktu aurat (sebelum subuh, sesudah dhuhur, dan
sesudah isya), termasuk perkara yang dicela dalam Islam dan harus
dijauhi, kecuali terpaksa (karena ada urusan yang sangat penting.
2. Cara bertamu yang baik
Cara bertamu yang baik menurut Islam antara lain sebagai berikut:
a. Berpakaian yang rapi dan pantas
Bertamu dengan memakai pakaian pantas berarti menghormati tuan rumah dan
dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih
dihormati oleh tuan rumah, demikian pula sebaliknya.
Allah SWT berfirman:
اِنْاَحْسَنَتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأَِ نْفُسِكُمْ وَاِنْ أَسَأْ تُمْ فَلَهَا … (الاسراء:7)
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri
dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan0 itu bagi dirimu sendiri ….”
(QS. Al Israa: 7)
b. Memberi isyarat dan dalam ketika datang
Allah SWT berfirman:
يأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْالاَتَدْ خُلُوْا بُيُوْ تًا غيْرَ
بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْ نِسُوْا وَتُسَلِّمُوْاعَلَىأهْلِهَا ط
ذلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَكَّرُوْنَ (النور: 27)
“Wahai orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu supaya kamu selalu ingat.” (QS. An-Nuur:
27)
c. Jangan mengintip ke dalam rumah
d. Minta izin masuk sebanyak-banyaknya 3 kali, apabila sudah mengetuk
pintu atau membaca salam tiga kali tidak ada tanggapan dari tuan rumah,
harus kembali pulang
e. Memperkenalkan diri secara jelas, baik nama, Alamat (terlebih bila bertamu pada malam hari
f. Tamu lelaki dilarang masuk ke dalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ اِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
وَلاَ تُسَافِرُ اْلمَرْاَةُ اِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ (رواه البخارى و
مسلم)
“Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi bersama perempuan kecuali ia
(perempuan tersebut) bersama mahramnya. Jangan pula seorang perempuan
berpergian kecuali apabila ia bersama mahramnya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
g. Masuk dan duduk dengan sopan
Setelah tuan rumah mempersilahkan masuk, hendaklah tamu masuk rumah dan
duduk dengan sopan di tempat yang telah disediakan. Tamu hendaknya
membatasi diri, tidak memandang ke mana-mana secara bebas. Pandangan
yang tidak dibatasi (terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan
kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu dapat dinilai sebagai orang yang tidak
sopan, bahkan dapat dikira sebagai orang jahat yang mencari-cari
kesempatan.
h. Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati
Apabila tuan rumah memberi jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan
tersebut dengan senang hati, tidak menampakan sikap tidak senang
terhadap jamuan tersebut. Jika sekiranya tidak suka dengan jamuan
tersebut, sebaiknya berkata terus terang bahwa dirinya tidak terbiasa
menikmati makanan dan minuman seperti itu.
D. Adab Menerima Tamu
1. Berpakaian yang pantas untuk menghormati tamu dan diri sendiri
2. Menerima tamu dengan sikap yang baik, sikap bersahabat, jangan sekali-kali memalingkan muka dirinya
3. Menjamu tamu sesuai kemampuannya, tidak mengada-ada yang dapat menyusahkan diri sendiri
Kewajiban menerima tamu adalah sehari – semalam. Selebihnya adalah sedekah bagi tuan rumah
4. antarkan tamu (saat pulang) sampai pintu halaman rumah
5. Wanita yang berada di rumah sendirian dilarang menerima tamu
laki-laki masuk ke dalam rumahnya tanpa ada izin sebelumnya dari suami
(kecuali masih mahramnya)
Bagi suami pun hendaknya bersikap hati-hati agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
DISIPLIN
A. Disiplin Dalam Kehidupan Pribadi
Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu
sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk pada keputusan, perintah
atau peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap
mentaati peraturan dan ketentuan yang ditetapkan, tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits, yang memerintahkan
disiplin dalam ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara
lain surat An-Nisa ayat 59:
ياَيُّهَاالَّذِمْنَ امَنُوْااَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ … (النساء 59)
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu …” (An Nisa 59)
Disiplin adalah kunci sukses, sebab dengan disiplin akan tumbuh sifat
yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur
dalam kebenaran dan rela berkorban untuk kepentingan pribadi dan
kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Disiplin dalam penggunaan waktu
Disiplin dalam menggunakan waktu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang
sudah berlalu tak mungkin akan kembali lagi, hari yang sudah lewat tak
akan datang lagi. Demikian pentingnya arti waktu sehingga berbagai
bangsa di dunia mempunyai ungkapan yang menyatakan “waktu adalah uang”,
peribahasa arab menyatakan “waktu adalah pedang”, dan “waktu adalah
emas”, dan kita orang Indonesia menyatakan: “sesal dahulu pendapatan
sesal kemudian tak berguna”
Marilah kita bayangkan, seandainya ada seorang yang pada waktu Belajar
di rumah masih terus bermain-main, sebaliknya pada waktu tidur, ia
gunakan untuk bergadang semalaman suntuk. Tentu dapat kita lihat bahwa
hidupnya menjadi tidak teratur, karena ia tidak pandai menggunakan waktu
dengan tepat. Oleh karena itu marilah kita lebih menghargai waktu
dengan cara disiplin dalam merencanakan, mengatur, dan menggunakan
waktu, yang Allah karuniakan kepada kita tanpa dipungut biaya.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses
dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin
memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya,
akan tetapi melalui latihan yang ketaatan dalam kehidupan pribadinya.
2. Disiplin dalam beribadah
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian
yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendah
diri hanya kepada Allah yang disertai perasaan cinta kepada-Nya. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin dalam beribadah itu
mengandung dua hal:
a. Berpengang teguh terhadap apa yang diajarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran-ajaran yang
berifat halal, anjuran sunnah, atas makruh dan haram
b. Sikap berpengang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan
karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah
senantiasa taat kepada-Nya, dan taat kepada Rasul-Nya. Perhatikan firman
Allah:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِيْبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْ نِيْ يُحْبِبْكُمُ
اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْ بَكُمْ قلى وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (ال
عمران: 31)
Artinya: “Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutlah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran 31)
Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua, yakni:
a. Ibadah mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah
b. Ibadah ghairoh mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung
dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah (disebut juga ibadah khusus) aturan-aturannya tidak boleh
semuanya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru, misalnya shalat
subuh tiga rakaat atau puasa 40 hari terus menerus tanpa berbuka,
adalah orang yang tidak disiplin dalam beribadah, karena ia tidak
mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia
termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang
sesat.
Dalam ibadah ghairoh mahdhah (disebut juga ibadah umum) orang dapat
menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh
Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya
ikhlas semata-mata karena Allah, bukan ingin mendapatkan pujian orang
lain (riya’)
3. Disiplin Dalam Berlalu Lintas
Tanggal 1 Desember 1993 merupakan hari bersejarah dalam berlalu lintas
di Indonesia, karena pada tanggal tersebut UU nomor 14 tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya mulai diberlakukan secara
efektif di seluruh wilayah nusantara. Dengan Undang-undang tersebut,
diharapkan semua warga negara mentaati dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan. Bagi umat Islam masalah ketaatan terhadap berbagai peraturan
termasuk peraturan lalu lintas bukanlah hal yang asing, karena banyak
ayat Al-Qur’an dan Hadits yang mengandung perintah untuk bersikap taat.
Firman Allah SWT dalam surat An Nisa 59:
ياَيُّهَاالَّذِمْنَ امَنُوْااَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ … (النساء 59)
Artinya: “Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya) dan ulil amri di antara kamu …. (An Nisa 59)
Ayat tersebut menegaskan bahwa sebagai orang beriman di samping harus
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, juga harus taat kepada Pemimpin atau
pemerintah. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya yang
artinya: “Barang siapa yang taat kepadaku maka ia benar-benar telah taat
kepada Allah, dan barang siapa yang durhaka kepadaku maka ia
benar-benar telah durhaka kepada Allah. Barang siapa yang taat kepada
penguasa maka ia benar-benar taat kepadaku, dan barang siapa yang
durhaka kepada penguasa maka ia benar-benar telah durhaka kepadaku”.
(H.R Bukhari dan Muslim)
Dalam Hadits lain Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Seseorang
muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukai maupun hal
yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat.
Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat, maka ia tidak wajib
untuk mendengarkan dan taat” (HR. Bukhari dan Muslim)
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi di atas, jelas sekali bahwa
ajaran Islam tentang disiplin mengandung ketaatan pada peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah adalah suatu hal yang harus dilaksanakan
yaitu melaksanakan disiplin bukan karena diawasi oleh petugas, tetapi
karena merupakan tuntunan ajaran agama.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim sekaligus sebagai warga
negara yang baik sudah seharusnya ikut aktif dalam menciptakan tertib
lalu lintas dengan mematuhi dan melaksanakan segala aturan yang tertuang
dalam undang-undang tersebut.
B. Disiplin Dalam Bermasyarakat
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang
budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda pula.
Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda,
namun dengan bermasyarakat, mereka tentu memiliki norma-norma dan
nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang sedang disepakati
bersama, yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh setiap
anggota masyarakat itu. Kita sebagai manusia yang lahir sebagai bangsa
Indonesia yang religius dan berfalsapahkan pancasila, tentunya kita
harus mentaati dan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma serta adat yang
berlaku pada masyarakat kita. Sesuai dengan naluriah kemanusiaan, tiap
anggota masyarakat ingin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompoknya
Sekiranya tidak ada aturan yang mengikat di antara mereka dalam
bermasyarakat dari ketentuan yang telah digariskan oleh agama, niscaya
kehidupan mereka akan kacau balau, karena setiap pribadi dan kelompok
akan membanggakan diri pribadi dan kelompoknya masing-masing.
Berdasarkan kenyataan ini, maka agama Islam menegaskan bahwa manusia
yang paling berkualitas di sisi Allah bukanlah karena keturunan atau
kekayaan, akan tetapi berdasarkan ketaqwaannya. Ketaqwaan yang merupakan
perwujudan dari kedisiplinan yang tinggi dalam mematuhi perintah Allah
dan menjauhi larangan – larangan-Nya, bukanlah suatu pembawaan dan bukan
pula suatu harta pustaka yang dapat diwariskan melalui garis keturunan
Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu Bagaikan satu Bangunan
yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain
mempunyai fungsi yang berbeda – beda, manakala salah satu komponen itu
rusak, maka seluruh Bangunan itu akan rusak atau binasa. Hadits Nabi SAW
menegasakan:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدَّ بَعْضُهُ بَعْضًا, وَشَبَّكَ بَيْنَ اَصَابِعِهِ (رواه البخارى و مسام والترمذى)
Artinya: “Seorang mu’min dengan mu’min lainnya Bagaikan Bangunan yang
sebagahagian dari mereka memperkuat bahagian lainnya. Kemudian beliau
menelusupkan jari-jari yang sebelah ke jari-jari tangan sebelah
lainnya”. (H.R Bukhari Muslim dan Turmuzi)
C. Disiplin Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan
kesepakatan yang dibuat oleh anggota atau warga negara tersebut. Tanpa
adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud.
Oleh karena itu masyarakat prasarat untuk berdirinya suatu negara.
Tujuan dibentuknya suatu negara ialah agar seluruh keinginan dan
cita-cita yang diidamkan oleh warga negara yang dapat diwujudkan dan
dapat dilaksanakan. Anggota masyarakat suatu negara adakalanya mempunyai
latar belakang budaya dan agama yang sama, dan ada pula yang terdiri
atas budaya dan agama yang beragam. Dalam membentuk negara yang baik,
beragamnya budaya bukanlah merupakan persoalan. Karena keberadaan latar
belakang budaya tidak akan menghambat suatu masyarakat untuk membangun
negaranya. Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut semakin memperkaya
perbendaharaan pemikiran dan pengetahuan suatu masyarakat. Kunci
keberhasilan suatu negara terletak pada kedisiplinan berupa kesetiaan
dan kesungguhan warga negaranya melaksanakan tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Berkaitan dengan hal di atas maka di negara Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah selayaknya jika umat
Islam mempelopori meningkatkan disiplin nasional dalam bentuk mematuhi
segala peraturan perundang-undangan yangberlaku, sesuai dengan fungsi
dan tugasnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar